Taufiq Ismail terkenal sebagai penyair terkemuka Indonesia. Kanon Sastra Indonesia menempatkan tokoh kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, 25 Juni 1935 ini mencuat dalam tatanan sastra Indonesia lewat kumpulan puisinya Tirani dan Benteng.
Kumpulan puisi tersebut sarat dengan protes politik dan kritik sosial tajam.
Kanon Sastra Indonesia menggolongkan Taufiq Ismail ke dalam Angkatan 66, yang lahir ketika turbulensi politik pada tahun itu yang berujung pada tumbangnya rezim Sukarno dan bubarnya Partai Komunis Indonesia (PKI).
BACA JUGA: Minum Air Es Usai Makan Bisa Picu Kanker, Benarkah?
Dalam perjalanan kesusasteraannya, Taufiq Ismail dijuluki sebagai penjaga sastra Indonesia.
Salah satu pendiri majalah sastra Horison ini terkenal dengan puisinya yang atmosferis seperti yang terlihat dalam kumpulan puisi Sajak Ladang Jagung.
Sementara, karyanya yang bermuatan kritik sosial antara lain Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Buku Tamu Museum Perjuangan dan Ketika Kata Ketika Warna.
Di balik puisi-puisi sarat kritik sosialnya, Taufiq Ismail yang besar di Pekalongan, Jawa Tengah itu terkenal sebagai sosok yang sangat keras menentang komunis. Taufiq sangat antikomunis.
Menurutnya, sikap antikomunis lantaran komunis secara terang-terangan menulis tujuan mereka adalah merebut kekuasaan dengan kekerasan.
Sementara di Indonesia, komunis (PKI) telah tiga kali berupaya merebut kekuasaan, yakni pada 1926, 1948, dan 1965. Namun, ketiga-tiganya gagal dan sejak 1966, komunis menjadi partai terlarang.
BACA JUGA: Benarkah DN Aidit Dalang Peristiwa G30S?
Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis Taufiq Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis.
Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia.
Buku saku lain tentang komunisme yang ditulis Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Menurutnya dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan.
Jerih payahnya dalam dunia sastra telah menjadikannya penerima berbagai penghargaan, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Anugerah Seni dari Pemeritah RI diterimanya tahun 1970.
Penghargaan dari Pusat Bahasa diterimanya tahun 1994 yang kemudian membawanya untuk menerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand pada tahun itu juga.
Pada tahun 1999 ia memperoleh penghargaan dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara 1999 di Negeri Johor, Malaysia. Sampai tahun 2003 ia menjadi juri selama bertahun-tahun dalam penilaian karya sastra yang dikelola Pusat Bahasa.
Puncak penghargaan yang diterimanya adalah anugerah Dr. Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003.