Sebanyak 12 warga negara Indonesia yang diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dikabarkan masih tertahan di kantor yang berada di wilayah konflik Myawaddy, Myanmar.
RD, ayah salah satu korban mengatakan bahwa anaknya bekerja selama lebih dari 12 jam mulai dari pukul 4 sore sampai 9 pagi setiap harinya.
Selain itu, kata RD, anaknya pun tidak mendapatkan upah dan terkadang mendapatkan sanksi fisik seperti angkat galon selama 1 jam apabila tidak memenuhi target pekerjaan.
BACA JUGA: Mau Tahu Surganya Olahraga Bawah Laut? Coba Kunjungi Pantai Amed Segera
“Pernah satu malam dipenjara dengan kondisi dilarang tidur, tidak mendapat makanan dan terjadi kekerasan fisik yang menyebabkan memar serta bengkak. Setelah itu dibebaskan dan bekerja lagi,” kata RD seperti dikutip di Jakarta, Senin, 18 November 2024.
Kronologi yang akhirnya membawa sang anak ke Myanmar bermula ketika sang anak mencari pekerjaan melalui media sosial Facebook dan dijanjikan posisi administrasi di sebuah restoran.
Setelah diterima kerja, lalu dimasukkan ke dalam grup Telegram yang berisi sang anak serta mengajak keponakan yang juga sedang mencari pekerjaan.
Kedua belas orang itu dijadwalkan terbang ke Thailand pada 11 Agustus, namun gagal berangkat lantaran dokumen seperti surat izin untuk bekerja belum lengkap.
Mereka pun diminta oleh pihak perusahaan untuk mencari penginapan di sekitar Bandara Soekarno Hatta dan ditransfer uang ke salah satu korban untuk biaya penginapan dan makan.
Pada 14 Agustus, akhirnya mereka berangkat pada pukul 06.00 WIB dan tiba di Bangkok pada pukul 09.30 waktu setempat lalu dijemput oleh oknum agensi.
“Anak saya mengabari sudah sampai dan besok akan urus surat-surat. Nada suaranya seperti tertekan, karena katanya diawasi saat menelepon,” katanya.
Sejak malam itu hingga sepekan kemudian, dia tidak mendapat kabar dari sang anak karena HP-nya mati dan baru dapat komunikasi kembali sekitar 25 atau 27 Agustus dengan menggunakan HP yang mereka rahasiakan dari perusahaan.
“Kondisi mereka tidak baik-baik saja dan membutuhkan pertolongan. Minta dihubungi KBRI,” katanya.
Ia mengaku setelah mengetahui kondisi sang anak, RD pun langsung meminta share location dan kemudian melapor ke KBRI Thailand.
Menurut KBRI, di sekitar Thailand sudah tidak ada lagi perusahaan scammer dan pihaknya memastikan bahwa para WNI itu berada di Myanmar, yang lokasinya berseberangan dengan Thailand.
BACA JUGA: Wisata Awet Muda di Pulau Gili Iyang Sumenep
RD menghubungi KBRI Yangon di Myanmar dan mendapat penjelasan daerah yang dimaksud adalah kawasan konflik kekuasaan pemberontak serta tidak semudah menjemput di negara lain.
Sejauh ini, keluarga korban telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri RI bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam upaya pembebasan anaknya bersama WNI lain yang ditahan di Myanmar.